Oleh : HM. Robert Usman, SE, M.Si
Pendiri Robert Usman Centre
Ciputat hari ini dan masa lalu—juga di
masa mendatang--merupakan sebuah daerah yang menyimpan potensi bagi wilayah
yang kini disebut sebagai Kota Tangerang Selatan. Lokasinya yang berbatasan
dengan Jakarta dan Bogor membuat Ciputat terasa lebih strategis bila
dibandingkan dengan wilayah lainnya di Tangerang Selatan. Bahkan pemekaran
Kabupaten Tangerang menjadi Kota Tangerang Selatan—salah satunya--juga didasari
atas tidak terurusnya kawasan Ciputat, terutama di sekitar pasar.
Pada masa penjajahan Belanda, wilayah ini
masuk ke dalam Karesidenan Batavia yang didominasi oleh tiga etnis,
yaitu: suku Sunda, suku Betawi, dan Tionghoa. Di kawasan ini pula terdapat
Masjid Agung Al-Jihad Ciputat, salah satu masjid bersejarah yang masih berdiri
kokoh di tengah lajunya pembangunan kota Tangerang Selatan. Masjid yang
berlokasi di Jalan H. Usman No.1, Ciputat - Tangerang Selatan ini,
disebut-sebut menjadi saksi penyebaran Islam dan perlawanan pejuang terhadap
penjajahan Belanda.
Di samping itu, Ciputat juga dikenal
memiliki banyak tokoh masyarakat berpengaruh, mulai dari ulama, akademisi,
hingga politisi--baik di tingkat lokal hingga
nasional--terutama setelah kehadiran UIN Syarif Hidayatullah, yang jauh
sebelumnya bernama Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Maka tidak terlalu
berlebihan rasanya bila saya katakan bahwa Ciputat merupakan pusat peradaban
bagi Kota Tangerang Selatan. Atas dasar itulah saya rasa Ciputat memang perlu
menentukan hari jadinya agar kita semua—khususnya warga Tangerang Selatan—bisa
terus mengingat peran wilayah ini.
MELIHAT
CIPUTAT DI MASA LALU
Pasar Ciputat sebelum dibangun flyover |
Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda,
kawasan Ciputat dihuni oleh tiga etnis besar, di antaranya suku Sunda,
suku Betawi, dan Tionghoa. Waktu itu Ciputat dikenal sebagai daerah penghasil
rempah-rempah, panen pangan, hingga buah-buahan. Barangkali itu sebabnya kita tidak
menemukan bangunan-bangunan dengan arsitektur peninggalan kolonial
Belanda—mengingat wilayah ini hanya dimanfaatkan untuk perkebunan. Konon,
sebutan Ciputat itu pun sudah ada sejak masa Kolonial Belanda.
Pada masa peperangan, menurut sejumlah
sumber, pertempuran melawan Belanda sering pecah di kawasan Pasar Jumat. Di
sanalah para pejuang rakyat memasang batas pertahanan agar pasukan Belanda yang
bermarkas di wilayah Kebayoran Lama dapat dicegah. Waktu itu markas Barisan
Komando Rakyat (BKR) wilayah Ciputat berada di sebelah Masjid Agung—yang kini
menjadi kantor pejuang Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Itu sebabnya
masjid yang berlokasi di Jalan H. Usman No.1 Ciputat Tangerang Selatan ini,
disebut menjadi saksi penyebaran ajaran Islam dan perlawanan pejuang terhadap
penjajahan Belanda.
Masjid Agung Al Jihad ini sendiri pada
awalnya merupakan sebuah musholla kecil yang dibangun pada sekitar 1940-an. Adalah Tuan Salim, warga Ciputat berdarah Arab yang mewakafkan sebidang
tanah untuk didirikan sebuah musholla sebagai tempat beribadah penduduk.
Seiring perjalanan waktu, penduduk Muslim di wilayah Ciputat kian berkembang,
sehingga mushalla itu mengalami perubahan fisik bangunan dan dijadikan masjid
pertama di kawasan Tangerang Selatan.
Pada tahun 1970-an masjid Agung Al-Jihad
mengalami renovasi permanen hingga terlihat kokoh dengan bahan bangunan modern.
Dominan berwarna hijau dengan ukiran kaligrafi islam di dinding, masjid
Al-Jihad kini menjadi salah satu masjid megah di Tangerang Selatan. Sebagai
salah satu pusat kajian Islam di Ciputat, Masjid juga kerap disinggahi para
ulama besar masa lalu. Begitu juga masjid Al-jihad. Rumah ibadah yang berlokasi
tak jauh dari Pasar Ciputat ini pun kerap dikunjungi Buya Hamka, untuk sekadar
mengisi pengajian dan memberikan kontribusi bagi
pembangunan masjid.
Pada tahun 1945, di dekat Masjid Agung al
Jihad sebenarnya terdapat sebuah tugu pejuang untuk mengingatkan betapa proses
menuju kemerdekaan Republik ini tidak pernah mudah. Hanya saja, tugu
yang didirikan oleh para pejuang itu hancur setelah kekacauan politik
nasional pasca 1965 dan hingga kini belum pernah ada inisiatif untuk
membangunnya kembali.
CIPUTAT
DALAM PEMEKARAN KABUPATEN TANGERANG
Menurut saya, proses pemekaran Kabupaten
Tangerang menjadi bagian penng bila kita ingin mencari hari lahir
wilayah Ciputat. Apalagi waktu itu kawasan Ciputat menjadi isu sentral mengapa
wilayah yang dinamakan Tangerang Selatan saat ini harus berdiri sendiri sebagai
sebuah kota. Pada tahun 1999, wilayah Ciputat—khususnya di sekitar area
pasar—berkembang pesat hingga menjadi salah satu daerah yang paling bermasalah,
mulai dari soal kemacetan, penataan wilayah, hingga kekacaauan pasar.
Kampus UIN Syarif Hidayatullah |
Dari situlah sejumlah tokoh masyarakat
bertemu dan berkumpul untuk melahirkan wacana pemekaran. Hampir semua tokoh
yang bertemu membicarakan kondisi kawasan Ciputat yang terkesan nyaris tak
terurus—terutama di sekitar area pasar. Barangkali, jarak antara kawasan
Ciputat dengan pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang di Tigaraksa yang
terbilang cukup jauh, sekitar 50 kilometer, membuat kawasan ini menjadi kurang
terkontrol.
Maka untuk memudahkan tata kelola wilayah
ini para tokoh tersebut kemudian mewacanakan konsep pemekaran daerah di
Kabupaten Tangerang. Nama “Ciputat” pun menjadi kata pertama untuk usulan
singkatan yang menyebut nama daerah baru itu, yakni: Cipasera—yang merupakan
singkatan dari Ciputat, Pamulang, Serpong, dan Pondok Aren. Setelah beberapa
kali melakukan perbincangan dan pematangan, pada akhirnya mereka membentuk
Komite Persiapan Pembentukan Daerah Otonom Kota Cipasera (KPPDOKC).
Sejumlah upaya pun dilakukan, mulai dari
mengirim surat kepada DPRD Kabupaten Tangerang—yang awalnya dak
ditanggapi—hingga akhirnya diterima oleh Ketua Komisi A saat itu, Norodom
Sukarno. Namun jalan itu pun tidak mudah. Anggota KPPDO-KC pun kemudian
meningkatkan intensitas sosialisasi dan penetrasi dalam berbagai bentuk, mulai
dari menulis artikel di koran lokal dan nasional, menggelar seminar,
membuat spanduk di berbagai wilayah Cipasera dan menyebar pamplet.
Sejumlah organisasi masyarakat di wilayah
Cipasera pun mulai menyutujui gagasan dari KPPDO-KC. Maka dibentuklah aliansi
antar ormas dengan KPPDO-KC dalam bentuk Komisariat Bersama Cipasera. Dengan
demikian terbentuklah tiga organisasi baru yang memperjuangkan
terbentuknya kota Cipasera, yaitu KPPDO-KC (pelopor), Bakor (Badan Koordinasi)
Cipasera, dan Komber (Komisariat Bersama) Cipasera.
Singkat cerita, Bupati Kabupaten
Tangerang saat itu, Ismet Iskandar, menyatakan setuju asalkan terbentuk menjadi
dua kota. Tentu saja hal itu sulit dilakukan. Untuk memecahkan kebuntuan,
akhirnya DPRD membentuk Pokja tentang pemekaran daerah—meski Pokja ini
sebetulnya tidak dikenal di dalam tata tertib DPRD periode
tahun 2004-2009. Pokja kemudian menghasilkan kajian ilmiah dari Prof. DR. Sadu
Wasistiono terkait pemekaran daerah Kabupaten Tangerang.
Dalam rapat paripurna yang dilakukan
anggota legislatif, diusulkan beberapa nama untuk daerah pemekaran itu
antara lain; Kota Cipasera, Kota Ciputat, Kota Serpong, Kota Lengkong, dan Kota
Tangerang Selatan. Dari hasil voting saat itu, terpilihlah nama Kota
Tangerang Selatan. Sedangkan batas wilayah berdasarkan hasil kajian Prof DR
Sadu Wasistiono yakni mencakup Kecamatan Ciputat, Cisauk, Pamulang,
Serpong, dan Pondok Aren—tanpa Pagedangan.
Proses itu pun terus berlanjut untuk mematangkan
pemekaran, hingga akhirnya--dalam rapat paripurna--ditetapkan pembentukan Kota
Tangsel dengan batas wilayah Sungai Cisadane. Lalu pada 27 Desember 2006, DPRD
Kabupaten Tangerang akhirnya menyetujui terbentuknya Kota Tangerang Selatan.
Calon kota otonom ini terdiri atas tujuh kecamatan, yakni: Ciputat, Ciputat
Timur, Pamulang, Pondok Aren, Serpong, Serpong Utara dan Setu—hingga saat ini.
MENENTUKAN
TANGGAL HARI JADI
Menentukan hari jadi bagi sebuah daerah
memanglah tidak mudah. Perlu sebuah momen penting yang mampu
menjadi semacam tonggak awal untuk dijadikan sebagai hari jadi sebuah daerah,
dan juga disepakati oleh banyak orang. Dalam konteks Kota Tangerang Selatan,
misalnya, penetapan hari jadi kota ini ditentukan pada tanggal 26 November.
Dasar pertimbangannya adalah tanggal 26 merupakan momen disahkannya
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di
DPR RI. Artinya, pada saat itulah Kota Tangerang Selatan
terlahir sebagai sebuah kota baru.
Lalu bagaimana dengan Ciputat?. Saya
mencatat ada tanggal penting bagi Ciputat dalam proses pembentukan Kota
Tangerang Selatan, yang dapat ditetapkan sebagai hari jadi Ciputat, yakni pada
tanggal 22 Januari. Kenapa tanggal itu?. Setelah mempelajari seluruh proses pemekaran
yang terkait dengan Kota Tangerang Selatan, pada tanggal 22
Januari 2007, ada momen
penting di mana hari itu dilakukan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten
Tangerang yang dipimpin oleh Ketua DPRD, Endang Sujana, dan menetapkan Kecamatan Ciputat
sebagai pusat pemerintahan Kota Tangerang Selatan secara aklamasi.
Di situlah saya rasa Kecamatan Ciputat
mendapatkan momen pentingnya. Sebab di tanggal itu Ciputat resmi
menjadi pusat pemerintahan kota Tangerang Selatan. Atas dasar itulah—tanpa
menampik momen lain yang terjadi di Ciputat--saya mencoba mengusulkan bahwa tanggal
hari jadi Ciputat adalah 22 Januari. Demikian catatan sederhana ini saya sampaikan dalam pertemuan dengan para tokoh Ciputat--yang difasilitasi Camat Ciputat--untuk membahas wacana penentuan hari jadi Ciputat.
*****
Ciputat, 18 Desember 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar