Pengembangan daerah Tangerang Selatan harus diawali
dengan pemahaman tentang model pembangunan yang berpusat kepada manusia (people
centered development), yakni bagaimana kita menempatkan masyarakat sebagai
fokus utama pembangunan.
Dinamika yang terjadi belakangan ini,
terutama karena pengaruh globalisasi, mau tidak mau telah menumbuhkan aspirasi
dan tuntutan baru dari masyarakat—terutama untuk mewujudkan kualitas kehidupan
yang lebih baik, berkeadilan sosial, dan kesejahteraan. Hal ini menjadi wajar
mengingat situasi ekonomi yang semakin terbuka memang cenderung hanya berorientasi
pada pasar—dengan tingkat persaingan yang semakin tajam, baik di pasar domestik
maupun internasional.
Persoalannya, kesempatan yang muncul dari
ekonomi terbuka ini hanya dapat dimanfaatkan oleh wilayah, sektor, dan golo-ngan ekonomi yang
lebih maju. Sementara masyarakat yang kemampuan ekonominya lemah cenderung terpinggirkan.
Tentu saja kondisi ini perlu diantisipasi agar tidak terjadi proses kesenjangan
yang makin melebar, termasuk di Kota Tangerang Selatan. Maka solusi untuk mengatasi
hal ini, pemerintah daerah secara khusus perlu memberikan perhatian serta
pemi-hakan dan pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan berbasis kerakyatan.
Artinya, kita perlu melakukan perubahan
orientasi yang sangat mendasar, yakni dengan meletakkan manusia pada pusat
lingkaran konsentrik pembangunan. Sementara dimensi-dimensi pembangunan
lainnya—seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, lingkungan dan
sebagainya--berperan sebagai pendukung realisasi eksistensi manusia. Pada pemahaman
ini, manusia tidak hanya dilihat sebagai tujuan atau objek utama pembangunan
tetapi juga sekaligus menjadi aktor sentral yang peran dan kontribusinya menentukan
masa depan pembangunan itu sendiri.
Bagi saya ini adalah soal bagaimana kita
menempatkan manusia sebagai subjek otonomi, yakni: mengandaikan masyarakat yang
mengerti bahwa pertama-tama merekalah yang dimaksudkan menjadi “otonom” dalam
pembentukan otonomi daerah. Manusia otonom adalah manusia (masyarakat) yang mengerti
akan hak dan kewajibannya. Inilah pendekatan yang difahami sebagai model
paradigma pembangunan berpusat kepada manusia (people centered development), yang menempatkan masyarakat sebagai
fokus maupun sumber utama pembangunan.
Di sini, kapasitas manusia mendapat
prioritas utama, dan oleh karenanya kinerja pembangunan hanya akan dinilai baik
atau buruk sejauh dapat meningkatkan kapasitas manusia--atau mengeliminasinya. Artinya, masyarakat selain
sebagai aset juga merupakan liabilities
yang harus diberdayakan dalam konteks pembangunan. Sebab, agar pembangunan
menjadi suatu proses yang dinamis atas kekuatan sendiri (self sustaining
process) sangat diperlukan adanya proses emansipasi diri (inner will
process).
Pasalnya suatu partisipasi
kreatif dalam proses pembangunan hanya menjadi mungkin apabila pendewasaan
dalam dimensi substantive (pemberdayaan potensi dasar pembangunan) senantiasa
diupayakan. Pemberdayaan potensi dasar tersebut erat kaitannya dengan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan sejak dari perencanaan, pelaksanaan,
sampai pada monitoring dan evaluasinya. Hal itu sejalan dengan pemikiran pembangunan kontemporer di mana
pembangunan dilihat sebagai proses pengembangan kapasitas personal dan
institusional agar dapat memobilisasi dan mengelola sumberdaya yang dimiliki
guna meningkatkan kualitas hidup yang sesuai dengan aspirasi masyarakat
(Korten, 1990:67).
Meski kita tahu, program pembangun
berbasis kerakyatan ini dapat berjalan baik ketika terjadi peningkatan kemampuan
sumberdaya manusia, lengkap dengan adanya lembaga yang terlatih untuk mengelola
sumberdaya manusia yang sudah maju, serta memerlukan lingkungan yang kondusif. Sebab,
tiap kebijakan dan keputusan publik maupun sektor usaha, serta keputusan dan
tindakan masyarakat, harus sinkron dengan kebijakan pengembangan daerah yang
telah disepakati.
*****
Bagaimana pun pendekatan pemberdayaan
masyarakat ini merupakan tantangan besar otonomi ke depan, termasuk juga bagi
Kota Tangerang Selatan. Apalagi bila ditinjau secara sosilogis, dengan jumlah
penduduk yang lebih dari satu juta jiwa—serta didominasi oleh kaum urban—maka
upaya pembangunan Kota Tangerang Selatan harus bersifat menyeluruh dan
sistematik dalam kerangka pikir holistik.
Untuk mencapainya, tentu saja pemerintah
daerah perlu melibatkan berbagai unsur di dalamnya: seperti sistem yang
dibangun, kultur, publik, maupun industri. Ini sama artinya dengan pengakuan bahwa jalan terbaik untuk mencapai visi dan
misi daerah yang telah ditetapkan adalah denganmenggunakan pendekatan holistik
serta melibatkan banyak lembaga dan cara pandang atau
bermuatan adanya kepemilikan rencana (sense of ownership) bersama—yang diikuti dengan pemantauan,
evaluasi, dan review
berkala atas
implementasinya.
Artinya,
tidak ada jalan yang lebih baik lagi bila kita ingin mewujudkan tatanan sosial
yang kondusif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pembangunan
harus menempatkan rakyat sebagai subyek (pemeran pembangunan), dan bukan hanya
sebagai obyek yang tak ternilai. Pembangunan harus ditumbuhkan dari bawah (bottom
up) dan rakyat harus dipercaya bahwa mereka mampu untuk mendefinisikan
kebutuhan dan harapan-harapannya. Melalui kecenderungan ini, pembangunan bukan
hanya sekedar mengejar target sehingga tidak mengindahkan proses, akan tetapi
pembangunan akan lebih menekankan pada proses agar tidak terjadi kontradiksi
dengan tujuannya.
Saya kira ini adalah soal bagaimana kita membangun
kesadaran dan kemauan politik untuk membangun daerah secara baik dan demi kesejahteraan
bersama. Pada akhirnya kita akan melihat fakta-fakta menyenangkan: ketika
masyarakat bisa mengorganisir diri secara efektif dan membangun pola hubungan
antarwarga hingga memudahkan interaksi sosial serta menyatukan mereka sesuai kebijakan
pengembangan daerah yang telah disepakati bersama.
*****
HM. ROBERT USMAN