Selasa, 07 November 2017

MENUJU PEMBANGUNAN BERBASIS KERAKYATAN



Pengembangan daerah Tangerang Selatan harus diawali dengan pemahaman tentang model pembangunan yang berpusat kepada manusia (people centered development), yakni bagaimana kita menempatkan masyarakat sebagai fokus utama pembangunan.



Dinamika yang terjadi belakangan ini, terutama karena pengaruh globalisasi, mau tidak mau telah menumbuhkan aspirasi dan tuntutan baru dari masyarakat—terutama untuk mewujudkan kualitas kehidupan yang lebih baik, berkeadilan sosial, dan kesejahteraan. Hal ini menjadi wajar mengingat situasi ekonomi yang semakin terbuka memang cenderung hanya berorientasi pada pasar—dengan tingkat persaingan yang semakin tajam, baik di pasar domestik maupun internasional.

Persoalannya, kesempatan yang muncul dari ekonomi terbuka ini hanya dapat dimanfaatkan oleh wilayah, sektor, dan golo-ngan ekonomi yang lebih maju. Sementara masyarakat yang kemampuan ekonominya lemah cenderung terpinggirkan. Tentu saja kondisi ini perlu diantisipasi agar tidak terjadi proses kesenjangan yang makin melebar, termasuk di Kota Tangerang Selatan. Maka solusi untuk mengatasi hal ini, pemerintah daerah secara khusus perlu memberikan perhatian serta pemi-hakan dan pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan berbasis kerakyatan.

Artinya, kita perlu melakukan perubahan orientasi yang sangat mendasar, yakni dengan meletakkan manusia pada pusat lingkaran konsentrik pembangunan. Sementara dimensi-dimensi pembangunan lainnya—seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, lingkungan dan sebagainya--berperan sebagai pendukung realisasi eksistensi manusia. Pada pemahaman ini, manusia tidak hanya dilihat sebagai tujuan atau objek utama pembangunan tetapi juga sekaligus menjadi aktor sentral yang peran dan kontribusinya menentukan masa depan pembangunan itu sendiri.

Bagi saya ini adalah soal bagaimana kita menempatkan manusia sebagai subjek otonomi, yakni: mengandaikan masyarakat yang mengerti bahwa pertama-tama merekalah yang dimaksudkan menjadi “otonom” dalam pembentukan otonomi daerah. Manusia otonom adalah manusia (masyarakat) yang mengerti akan hak dan kewajibannya. Inilah pendekatan yang difahami sebagai model paradigma pembangunan berpusat kepada manusia (people centered development), yang menempatkan masyarakat sebagai fokus maupun sumber utama pembangunan.

Di sini, kapasitas manusia mendapat prioritas utama, dan oleh karenanya kinerja pembangunan hanya akan dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan kapasitas manusia--atau mengeliminasinya. Artinya, masyarakat selain sebagai aset juga merupakan liabilities yang harus diberdayakan dalam konteks pembangunan. Sebab, agar pembangunan menjadi suatu proses yang dinamis atas kekuatan sendiri (self sustaining process) sangat diperlukan adanya proses emansipasi diri (inner will process).

Pasalnya suatu partisipasi kreatif dalam proses pembangunan hanya menjadi mungkin apabila pendewasaan dalam dimensi substantive (pemberdayaan potensi dasar pembangunan) senantiasa diupayakan. Pemberdayaan potensi dasar tersebut erat kaitannya dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan sejak dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada monitoring dan evaluasinya. Hal itu sejalan dengan pemikiran pembangunan kontemporer di mana pembangunan dilihat sebagai proses pengembangan kapasitas personal dan institusional agar dapat memobilisasi dan mengelola sumberdaya yang dimiliki guna meningkatkan kualitas hidup yang sesuai dengan aspirasi masyarakat (Korten, 1990:67).

Meski kita tahu, program pembangun berbasis kerakyatan ini dapat berjalan baik ketika terjadi peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, lengkap dengan adanya lembaga yang terlatih untuk mengelola sumberdaya manusia yang sudah maju, serta memerlukan lingkungan yang kondusif. Sebab, tiap kebijakan dan keputusan publik maupun sektor usaha, serta keputusan dan tindakan masyarakat, harus sinkron dengan kebijakan pengembangan daerah yang telah disepakati.

*****

Bagaimana pun pendekatan pemberdayaan masyarakat ini merupakan tantangan besar otonomi ke depan, termasuk juga bagi Kota Tangerang Selatan. Apalagi bila ditinjau secara sosilogis, dengan jumlah penduduk yang lebih dari satu juta jiwa—serta didominasi oleh kaum urban—maka upaya pembangunan Kota Tangerang Selatan harus bersifat menyeluruh dan sistematik dalam kerangka pikir holistik.

Untuk mencapainya, tentu saja pemerintah daerah perlu melibatkan berbagai unsur di dalamnya: seperti sistem yang dibangun, kultur, publik, maupun industri. Ini sama artinya dengan pengakuan bahwa jalan terbaik untuk mencapai visi dan misi daerah yang telah ditetapkan adalah denganmenggunakan pendekatan holistik serta melibatkan banyak lembaga dan cara pandang atau
bermuatan adanya kepemilikan rencana (sense of ownership) bersama—yang diikuti dengan pemantauan, evaluasi, dan review berkala atas implementasinya.

Artinya, tidak ada jalan yang lebih baik lagi bila kita ingin mewujudkan tatanan sosial yang kondusif bagi  kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pembangunan harus menempatkan rakyat sebagai subyek (pemeran pembangunan), dan bukan hanya sebagai obyek yang tak ternilai. Pembangunan harus ditumbuhkan dari bawah (bottom up) dan rakyat harus dipercaya bahwa mereka mampu untuk mendefinisikan kebutuhan dan harapan-harapannya. Melalui kecenderungan ini, pembangunan bukan hanya sekedar mengejar target sehingga tidak mengindahkan proses, akan tetapi pembangunan akan lebih menekankan pada proses agar tidak terjadi kontradiksi dengan tujuannya.

Saya kira ini adalah soal bagaimana kita membangun kesadaran dan kemauan politik untuk membangun daerah secara baik dan demi kesejahteraan bersama. Pada akhirnya kita akan melihat fakta-fakta menyenangkan: ketika masyarakat bisa mengorganisir diri secara efektif dan membangun pola hubungan antarwarga hingga memudahkan interaksi sosial serta menyatukan mereka sesuai kebijakan pengembangan daerah yang telah disepakati bersama.

*****


HM. ROBERT USMAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar