Kamis, 21 Desember 2017

MENCARI MOMEN HARI JADI CIPUTAT



Oleh : HM. Robert Usman, SE, M.Si
Pendiri Robert Usman Centre


Ciputat hari ini dan masa lalu—juga di masa mendatang--merupakan sebuah daerah yang menyimpan potensi bagi wilayah yang kini disebut sebagai Kota Tangerang Selatan. Lokasinya yang berbatasan dengan Jakarta dan Bogor membuat Ciputat terasa lebih strategis bila dibandingkan dengan wilayah lainnya di Tangerang Selatan. Bahkan pemekaran Kabupaten Tangerang menjadi Kota Tangerang Selatan—salah satunya--juga didasari atas tidak terurusnya kawasan Ciputat, terutama di sekitar pasar.

Pada masa penjajahan Belanda, wilayah ini masuk ke dalam Karesidenan Batavia yang didominasi oleh tiga etnis, yaitu: suku Sunda, suku Betawi, dan Tionghoa. Di kawasan ini pula terdapat Masjid Agung Al-Jihad Ciputat, salah satu masjid bersejarah yang masih berdiri kokoh di tengah lajunya pembangunan kota Tangerang Selatan. Masjid yang berlokasi di Jalan H. Usman No.1, Ciputat - Tangerang Selatan ini, disebut-sebut menjadi saksi penyebaran Islam dan perlawanan pejuang terhadap penjajahan Belanda.

Di samping itu, Ciputat juga dikenal memiliki banyak tokoh masyarakat berpengaruh, mulai dari ulama, akademisi, hingga politisi--baik di tingkat lokal hingga nasional--terutama setelah kehadiran UIN Syarif Hidayatullah, yang jauh sebelumnya bernama Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Maka tidak terlalu berlebihan rasanya bila saya katakan bahwa Ciputat merupakan pusat peradaban bagi Kota Tangerang Selatan. Atas dasar itulah saya rasa Ciputat memang perlu menentukan hari jadinya agar kita semua—khususnya warga Tangerang Selatan—bisa terus mengingat peran wilayah ini.

MELIHAT CIPUTAT DI MASA LALU

Pasar Ciputat sebelum dibangun flyover
Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, kawasan Ciputat dihuni oleh tiga etnis besar, di antaranya suku Sunda, suku Betawi, dan Tionghoa. Waktu itu Ciputat dikenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah, panen pangan, hingga buah-buahan. Barangkali itu sebabnya kita tidak menemukan bangunan-bangunan dengan arsitektur peninggalan kolonial Belanda—mengingat wilayah ini hanya dimanfaatkan untuk perkebunan. Konon, sebutan Ciputat itu pun sudah ada sejak masa Kolonial Belanda.

Pada masa peperangan, menurut sejumlah sumber, pertempuran melawan Belanda sering pecah di kawasan Pasar Jumat. Di sanalah para pejuang rakyat memasang batas pertahanan agar pasukan Belanda yang bermarkas di wilayah Kebayoran Lama dapat dicegah. Waktu itu markas Barisan Komando Rakyat (BKR) wilayah Ciputat berada di sebelah Masjid Agung—yang kini menjadi kantor pejuang Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Itu sebabnya masjid yang berlokasi di Jalan H. Usman No.1 Ciputat Tangerang Selatan ini, disebut menjadi saksi penyebaran ajaran Islam dan perlawanan pejuang terhadap penjajahan Belanda.

Masjid Agung Al Jihad ini sendiri pada awalnya merupakan sebuah musholla kecil yang dibangun pada sekitar 1940-an. Adalah Tuan Salim, warga Ciputat berdarah Arab yang mewakafkan sebidang tanah untuk didirikan sebuah musholla sebagai tempat beribadah penduduk. Seiring perjalanan waktu, penduduk Muslim di wilayah Ciputat kian berkembang, sehingga mushalla itu mengalami perubahan fisik bangunan dan dijadikan masjid pertama di kawasan Tangerang Selatan.

Pada tahun 1970-an masjid Agung Al-Jihad mengalami renovasi permanen hingga terlihat kokoh dengan bahan bangunan modern. Dominan berwarna hijau dengan ukiran kaligrafi islam di dinding, masjid Al-Jihad kini menjadi salah satu masjid megah di Tangerang Selatan. Sebagai salah satu pusat kajian Islam di Ciputat, Masjid juga kerap disinggahi para ulama besar masa lalu. Begitu juga masjid Al-jihad. Rumah ibadah yang berlokasi tak jauh dari Pasar Ciputat ini pun kerap dikunjungi Buya Hamka, untuk sekadar mengisi pengajian dan memberikan kontribusi bagi pembangunan masjid.

Pada tahun 1945, di dekat Masjid Agung al Jihad sebenarnya terdapat sebuah tugu pejuang untuk mengingatkan betapa proses menuju kemerdekaan Republik ini tidak pernah mudah. Hanya saja, tugu yang didirikan oleh para pejuang itu hancur setelah kekacauan politik nasional pasca 1965 dan hingga kini belum pernah ada inisiatif untuk membangunnya kembali.

CIPUTAT DALAM PEMEKARAN KABUPATEN TANGERANG

Menurut saya, proses pemekaran Kabupaten Tangerang menjadi bagian pen􀀧ng bila kita ingin mencari hari lahir wilayah Ciputat. Apalagi waktu itu kawasan Ciputat menjadi isu sentral mengapa wilayah yang dinamakan Tangerang Selatan saat ini harus berdiri sendiri sebagai sebuah kota. Pada tahun 1999, wilayah Ciputat—khususnya di sekitar area pasar—berkembang pesat hingga menjadi salah satu daerah yang paling bermasalah, mulai dari soal kemacetan, penataan wilayah, hingga kekacaauan pasar.

Kampus UIN Syarif Hidayatullah
Dari situlah sejumlah tokoh masyarakat bertemu dan berkumpul untuk melahirkan wacana pemekaran. Hampir semua tokoh yang bertemu membicarakan kondisi kawasan Ciputat yang terkesan nyaris tak terurus—terutama di sekitar area pasar. Barangkali, jarak antara kawasan Ciputat dengan pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang di Tigaraksa yang terbilang cukup jauh, sekitar 50 kilometer, membuat kawasan ini menjadi kurang terkontrol.

Maka untuk memudahkan tata kelola wilayah ini para tokoh tersebut kemudian mewacanakan konsep pemekaran daerah di Kabupaten Tangerang. Nama “Ciputat” pun menjadi kata pertama untuk usulan singkatan yang menyebut nama daerah baru itu, yakni: Cipasera—yang merupakan singkatan dari Ciputat, Pamulang, Serpong, dan Pondok Aren. Setelah beberapa kali melakukan perbincangan dan pematangan, pada akhirnya mereka membentuk Komite Persiapan Pembentukan Daerah Otonom Kota Cipasera (KPPDOKC).

Sejumlah upaya pun dilakukan, mulai dari mengirim surat kepada DPRD Kabupaten Tangerang—yang awalnya 􀀧dak ditanggapi—hingga akhirnya diterima oleh Ketua Komisi A saat itu, Norodom Sukarno. Namun jalan itu pun tidak mudah. Anggota KPPDO-KC pun kemudian meningkatkan intensitas sosialisasi dan penetrasi dalam berbagai bentuk, mulai dari menulis artikel di koran lokal dan nasional, menggelar seminar, membuat spanduk di berbagai wilayah Cipasera dan menyebar pamplet.

Sejumlah organisasi masyarakat di wilayah Cipasera pun mulai menyutujui gagasan dari KPPDO-KC. Maka dibentuklah aliansi antar ormas dengan KPPDO-KC dalam bentuk Komisariat Bersama Cipasera. Dengan demikian terbentuklah tiga organisasi baru yang memperjuangkan terbentuknya kota Cipasera, yaitu KPPDO-KC (pelopor), Bakor (Badan Koordinasi) Cipasera, dan Komber (Komisariat Bersama) Cipasera.

Singkat cerita, Bupati Kabupaten Tangerang saat itu, Ismet Iskandar, menyatakan setuju asalkan terbentuk menjadi dua kota. Tentu saja hal itu sulit dilakukan. Untuk memecahkan kebuntuan, akhirnya DPRD membentuk Pokja tentang pemekaran daerah—meski Pokja ini sebetulnya tidak dikenal di dalam tata tertib DPRD periode tahun 2004-2009. Pokja kemudian menghasilkan kajian ilmiah dari Prof. DR. Sadu Wasistiono terkait pemekaran daerah Kabupaten Tangerang.

Dalam rapat paripurna yang dilakukan anggota legislatif, diusulkan beberapa nama untuk daerah pemekaran itu antara lain; Kota Cipasera, Kota Ciputat, Kota Serpong, Kota Lengkong, dan Kota Tangerang Selatan. Dari hasil voting saat itu, terpilihlah nama Kota Tangerang Selatan. Sedangkan batas wilayah berdasarkan hasil kajian Prof DR Sadu Wasistiono yakni mencakup Kecamatan Ciputat, Cisauk, Pamulang, Serpong, dan Pondok Aren—tanpa Pagedangan.

Proses itu pun terus berlanjut untuk mematangkan pemekaran, hingga akhirnya--dalam rapat paripurna--ditetapkan pembentukan Kota Tangsel dengan batas wilayah Sungai Cisadane. Lalu pada 27 Desember 2006, DPRD Kabupaten Tangerang akhirnya menyetujui terbentuknya Kota Tangerang Selatan. Calon kota otonom ini terdiri atas tujuh kecamatan, yakni: Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang, Pondok Aren, Serpong, Serpong Utara dan Setu—hingga saat ini.

MENENTUKAN TANGGAL HARI JADI

Menentukan hari jadi bagi sebuah daerah memanglah tidak mudah. Perlu sebuah momen penting yang mampu menjadi semacam tonggak awal untuk dijadikan sebagai hari jadi sebuah daerah, dan juga disepakati oleh banyak orang. Dalam konteks Kota Tangerang Selatan, misalnya, penetapan hari jadi kota ini ditentukan pada tanggal 26 November. Dasar pertimbangannya adalah tanggal 26 merupakan momen disahkannya Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di DPR RI. Artinya, pada saat itulah Kota Tangerang Selatan terlahir sebagai sebuah kota baru.

Lalu bagaimana dengan Ciputat?. Saya mencatat ada tanggal penting bagi Ciputat dalam proses pembentukan Kota Tangerang Selatan, yang dapat ditetapkan sebagai hari jadi Ciputat, yakni pada tanggal 22 Januari. Kenapa tanggal itu?. Setelah mempelajari seluruh proses pemekaran yang terkait dengan Kota Tangerang Selatan, pada tanggal 22 Januari 2007, ada momen penting di mana hari itu dilakukan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Tangerang yang dipimpin oleh Ketua DPRD, Endang Sujana, dan menetapkan Kecamatan Ciputat sebagai pusat pemerintahan Kota Tangerang Selatan secara aklamasi.

Di situlah saya rasa Kecamatan Ciputat mendapatkan momen pentingnya. Sebab di tanggal itu Ciputat resmi menjadi pusat pemerintahan kota Tangerang Selatan. Atas dasar itulah—tanpa menampik momen lain yang terjadi di Ciputat--saya mencoba mengusulkan bahwa tanggal hari jadi Ciputat adalah 22 Januari. Demikian catatan sederhana ini saya sampaikan dalam pertemuan dengan para tokoh Ciputat--yang difasilitasi Camat Ciputat--untuk membahas wacana penentuan hari jadi Ciputat.

*****

Ciputat, 18 Desember 2017


Tidak ada komentar:

Posting Komentar