Rabu, 21 Maret 2018

MENGIKIS KEBOSANAN TERHADAP POLITIK


Politik juga punya momen untuk membangun nilai-nilai kebaikan.



Kita sama-sama tahu bahwa apa yang terjadi hari-hari ini nyaris sama dengan apa yang digambarkan Bung Hatta mengenai situasi politik pada masa demokrasi parlementer: ketika banyak partai politik cenderung menunjukkan sisi buram dari demokrasi. Pemilu sebagai hajat demokrasi pun menghadapi berbagai persoalan yang amat pelik tatkala realitas politik tidak berjalan sesuai dengan substansi dan cita-cita politik itu sendiri. Banyak politisi gagal menjalankan tugasnya sebagai gerbong penguatan masyarakat sipil hingga tidak mampu merespons tuntutan-tuntutan baru—baik di tingkat lokal maupun nasional. Tentu saja ini merupakan situasi berat bagi politisi yang ingin berkompetisi di Pemilu 2019. Lalu, bagaimana para politisi ini mengantisipasi situasi tersebut?.

Untuk mengetahuinya secara lebih mendalam, Tim RUC sudah menyunting hasil perbincangan isu ini dengan HM. Robert Usman, SE, M.Si, yang kini menjabat sebagai Wakil Bendahara DPD Partai Golkar Kota Tangerang Selatan. Berikut petikannya.

Menurut sejumlah pengamat, tren kepercayaan publik terhadap partai politik cenderung agak turun. Bagaimana pendapat Anda?

Saya rasa dengan situasi yang terjadi belakangan ini, ketika banyak kader parpol yang tertangkap tangan KPK serta hal-hal buruk lainnya di Gedung legislatif, wajar bila terjadi kecenderungan itu. Namun sebagai kader partai, saya tetap optimis bahwa situasi itu dapat diatasi.

Bagaimana mengatasinya, setidaknya dalam konteks kepentingan politik Anda di Kota Tangerang Selatan?

Saya sudah memperhitungkan situasi tersebut, karenanya saya membangun Robert Usman Centre (RUC). Salah satu poin pentingnya, lembaga ini dibangun sebagai wadah untuk mengikis energi kebosanan masyarakat terhadap politik menjadi energi yang lebih bersahabat dengan politik. Toh, kami sadar bahwa politik tidak mungkin diabaikan mengingat ia berkaitan erat dengan proses pendistribusian kekuasaan dan pengambilan keputusan di wilayah publik. Artinya, ia akan menentukan pada siapa, atau kelompok mana, realitas politik berpihak. Untuk menunjang tujuan tersebut, kami akan menggelar berbagai kegiatan berbasis diskusi serta pencerahan politik bagi warga.

Apakah itu bisa diartikan bahwa Anda masih meyakini Pemilu sebagai sebuah ruang kontestasi ide, gagasan, program, dan ideologi?

Ya, harus itu. Ketika dalam praktiknya banyak orang melupakan itu, bukan berarti gagasan yang sesungguhnya menjadi keliru. Saya percaya, dari sebuah pesta demokrasi—ketika teksturnya tetap sebagai ruang kontestasi ide, gagasan, program, dan ideologi—maka akan lahir embrio masyarakat sipil yang kokoh (strong civil society). Seberat apa pun situasinya, kita harus tetap optimis bahwa Pemilu merupakan sarana pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang dapat membentuk kesadaran kolektif seluruh komponen masyarakat tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.

Banyak pihak menilai bahwa politik itu dekat dengan “kebusukan”. Bagaimana pendapat Anda?

Kehidupan politik memang penuh dengan dinamika, apakah itu yang bersifat baik maupun yang buruk. Karenanya tak heran bila jauh-jauh hari, peringatan tentang bahaya (bermain) politik sudah lama dilontarkan sejumlah pemikir politik Islam klasik (fiqh siyasah), mulai dari al-Mawardi, al-Ghazali, hingga Ibn Taymiyyah. Bahkan Imam al-Ghazali menyatakan, politik adalah lahw dan la’b, permainan (yang) memabukkan dan pembuat lupa daratan. Kekuasaan, dalam nalar fiqh siyasah, cenderung bersumber dari nafsu yang sulit dikendalikan. Tapi bagi saya, politik tak selamanya busuk. Toh, sejak zaman nenek moyang, manusia punya dua ciri; "amour de soi", dorongan untuk mempertahankan diri sendiri, dan "pitie"; perasaan belas kasih antarsesama yang menderita. Politik adalah alat, dan kita mengandalkan manusianya.

Anda yakin “kebaikan” bisa menang di dunia politik?

Harus yakin. Bila tidak, untuk apa kita berpolitik. Para pemikir politik Islam klasik, saat membahas tentang institusi kekuasaan, sangat menekankan pentingnya akhlak, moral, dan etika. Karena berpolitik tanpa akhlak, moral dan etika bisa membuat banyak hal direduksi menjadi situasi persaingan antara “kami” dan “mereka”. Saya rasa, politik tidak bisa bertahan bila hanya mengibarkan panji-panji partikularisme, yang menegaskan apa yang istimewa pada kami dan tidak pada mereka. Toh, ada pemahaman bahwa politik pada akhirnya adalah sebuah proses pencarian dan pencapaian apa yang universal, suatu pergulatan antarkelompok yang terdorong untuk membentuk “kita”. Saat itulah, nilai-nilai kebaikan bisa menang.

Lalu dalam konteks Tangerang Selatan, apa yang perlu dijadikan isu saat ini untuk mengikis rasa kebosanan masyarakat terhadap politik?

Saya rasa kita perlu meningkatkan partisipasi politik berbasis konstituen pluralis yang bercorak lintas agama dan lintas etnis-kultural, demi terbangunnya keseimbangan antara kebebasan, kesetaraan, keadilan, solidaritas, dan demokrasi. Dalam banyak situasi, politik adalah soal bagaimana kita bersedia bekerja sama dengan pihak lain. Dan, tiap kehendak kerja sama itu harus mengandung unsur kesadaran akan batas: kata lain dari kerendah-hatian. Karena itu politik juga punya momen transendental; ketika kita merasa bertanggung-jawab untuk adil, tidak boleh netral atau bebas nilai--terutama kepada kelompok lemah yang tidak terwakili. Di situlah kita hadir untuk berjuang.

# Tim RUC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar